Kamis, 13 Desember 2012

Pemanfaatan Air Hujan

Dalam siklus hidrologi, air hujan jatuh ke permukaan bumi, sebagian masuk ke dalam tanah, sebagian menjadi aliran permukaan, yang sebagian besar masuk ke sungai dan akhirnya bermuara di laut. Air hujan yang jatuh ke bumi tersebut menjadi sumber air bagi makhluk hidup.

Curah hujan di wilayah Indonesia cukup tinggi, yaitu 2.000 – 4.000 mm/tahun dapat menjadi sumber air bersih, tetapi sering menimbulkan banjir pada musim penghujan, karena air hujan tidak dapat meresap ke tanah seiring dengan menurunnya daerah resapan. Di sisi lain dengan pertumbuhan jumlah penduduk, maka kebutuhan air bersih meningkat, diperkirakan pemanfaatan air tanah untuk memenuhi kebutuhan penduduk sebesar 100 liter/ hari/orang.
Pemanfaatan air tanah yang berlebihan akan menimbulkan dampak negatif antara lain: intrusi air laut, penurunan muka air tanah, amblesan tanah (land subsidence) yang menyebabkan genangan banjir dimusim penghujan. Sementara itu alih fungsi lahan pada daerah resapan akan menurunkan resapan air hujan, sehingga terganggunya ketersedian air bersih.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, maka perlu dipertahankan kesetimbangan melalui proses pengambilan dan pengisian air hujan (presipitasi dan infiltrasi) dengan meresapkan ke dalam pori-pori/rongga tanah atau batuan, serta dilakukan upaya konservasi air.
Prinsip dasar konservasi air adalah mencegah atau meminimalkan air yang hilang sebagai aliran permukaan dan menyimpannya semaksimal mungkin ke dalam tubuh bumi. Atas dasar prinsip ini maka curah hujan yang berlebihan pada musim hujan tidak dibiarkan mengalir ke laut tetapi ditampung dalam suatu wadah yang memungkinkan air kembali meresap ke dalam tanah (groundwater recharge) yaitu melalui pemanfaatan air hujan.
Pemanfaatan air hujan dapat dilakukan dengan cara membuat kolam pengumpul air hujan, sumur resapan dangkal, sumur resapan dalam dan lubang resapan biopori( LRB ) . lubang resapan biopori ( LRB ) menurut organisasi adalah lubang dengan diameter 10 sampai 30 cm dengan panjang 30 sampai 100 cm yang ditutupi sampah organik yang berfungsi untuk menjebak air yang mengalir di sekitarnya sehingga dapat menjadi sumber cadangan air bagi air bawah tanah, tumbuhan di sekitarnya serta dapat juga membantu pelapukan sampah organik menjadi kompos yang bisa dipakai untuk pupuk tumbuh-tumbuhan.

Macam – Macam Cara Pemanfaatan Air Hujan

1. Kolam Pengumpul Air Hujan
a. Kolam Pengumpul Air Hujan di atas Permukaan Tanah

Cara ini diperuntukkan bagi lokasi yang mempunyai karakteristik sebagai berikut :
  • muka air tanah dangkal < 1 m;
  • jenis tanah yang mempunyai kapasitas infiltrasi rendah seperti lempung dan liat;
  • kawasan karst, rawa, dan/atau gambut.
Konstruksi
  • membuat saluran air dari talang bangunan (dengan bahan PVC) ke dalam kolam pengumpul air hujan;
  • membuat kolam pengumpul air hujan dari beton, batu bata, tanah liat atau bak fiber/aluminium, dilengkapi dengan saluran pelimpasan keluar dari kolam pengumpul air hujan; dan
  • membuat penutup kolam pengumpul air hujan.
Pemeliharaan
  • membersihkan talang dan saluran air dari kotoran seperti ranting, dedaunan agar tidak tersumbat; dan/atau
  • melakukan analisis laboratorium untuk mengetahui kualitas air di dalam kolam pengumpul air (bila perlu).
b. Kolam Pengumpul Air Hujan di bawah Permukaan Tanah

Cara ini diperuntukkan bagi lokasi yang mempunyai karakteristik sebagai berikut :
  • daerah bebas banjir;
  • muka air tanah dangkal > 2 m;
  • keterbatasan ruang di atas tanah; dan/atau
  • daerah dengan ketinggian permukaan tanah minimal di atas 10 m di atas permukaan laut dengan luas lahan terbatas.
Konstruksi
  • membuat saluran air (PVC) dari talang bangunan ke dalam kolam pengumpul air hujan;
  • membuat kolam pengumpul air hujan dari beton, batu bata, atau bak fiber/aluminium dilengkapi dengan saluran pelimpasan keluar dari kolam pengumpul air hujan. Apabila kolam pengumpul tersebut dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari maka dapat dilengkapi dengan pompa air yang diletakkan pada permukaan tanah; dan
  • membuat penutup kolam pengumpul air hujan.
Pemeliharaan
  • membersihkan talang dari kotoran seperti ranting, dedaunan agar tidak tersumbat; dan/atau
  • melakukan analisis laboratorium untuk mengetahui kualitas air di dalam kolam pengumpul air (bila perlu).
2. Sumur Resapan
a. Sumur Resapan Dangkal


Cara ini diperuntukkan bagi lokasi yang mempunyai karakteristik sebagai berikut :
  • tinggi muka air tanah > 0,5 m; dan/atau
  • berada pada lahan yang datar dan berjarak minimum 1 m dari pondasi bangunan.
Konstruksi
  • sumur resapan dangkal dibuat dalam bentuk bundar atau empat persegi dengan menggunakan batako atau bata merah atau buis beton;
  • sumur resapan dangkal dibuat pada kedalaman di atas muka air tanah atau kedalaman antara 0,5 – 10 m di atas muka air tanah dangkal dan dilengkapi dengan memasang ijuk, koral serta pasir sebesar 25% dari volume sumur resapan dangkal;
  • sumur resapan dangkal dilengkapi dengan bak kontrol yang dibangun berjarak + 50 cm dari sumur resapan dangkal yang berfungsi sebagai pengendap;
  • sumur resapan dangkal dan bak kontrol dilengkapi dengan penutup yang dapat dibuat dari beton bertulang atau plat besi;
  • membuat saluran air dari talang rumah atau saluran air di atas permukaan tanah untuk dimasukkan ke dalam sumur dengan ukuran sesuai jumlah aliran. Sumur resapan yang sumber airnya dialirkan melalui talang bangunan tidak perlu membuat bak kontrol; dan
  • memasang pipa pembuangan yang berfungsi sebagai saluran limpasan jika air dalam sumur resapan sudah penuh.
Pemeliharaan
  • membersihkan bak kontrol dan sumur resapan dangkal dengan mengangkat filter yang berupa ijuk, koral dan pasir pada setiap menjelang musim penghujan atau disesuaikan dengan kondisi tingkat kebersihan filter; dan/atau
  • melakukan analisis laboratorium untuk mengetahui kualitas air yang masuk ke dalam sumur resapan apabila terdapat unsur-unsur tercemar. Parameter analisa air tanah dapat mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416 Tahun 1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air.
b. Sumur Resapan Dalam

Cara ini diperuntukkan bagi lokasi yang mempunyai karakteristik sebagai berikut :
  • diutamakan di daerah land subsidence dan/atau daerah genangan;
  • penurunan muka air tanah dalam kondisi kritis;
  • ketinggian muka air tanah > 4 m; dan/atau
  • sumur resapan dalam dapat dipadukan dengan sumur eksploitasi yang telah ada dan/atau yang akan dibuat.
Konstruksi
  • sumur resapan dalam dibuat melalui pemboran dengan lubang bor tegak lurus dan diameter minimal 275 mm (11 inch) untuk seluruh kedalaman;
  • diameter pipa lindung dan saringan minimal 150 mm (6 inch);
  • kedalaman sumur resapan dalam disesuaikan dengan kondisi akuifer dalam yang ada;
  • bibir sumur atau ujung atas pipa lindung terletak minimal 0,25 m di atas muka tanah dan dilengkapi dengan penutup pipa;
  • saringan sumur bor harus ditempatkan tepat pada kedudukan akuifer yang disarankan untuk peresapan. Apabila akuifernya mempunyai ketebalan lebih dari 3 m, maka panjang minimal saringan yang dipasang harus 3 m, ditempatkan di bagian tengah akuifer;
  • ruang antara dinding lubang bor dan pipa lindung di atas dan di bawah pembalut kerikil diinjeksi dengan lumpur penyekat, sehingga terbentuk penyekat-penyekat setebal 3 m di bawah kerikil pembalut dan setebal minimal 2 m di atas kerikil pembalut;
  • ruang antara dinding lubang bor dan pipa jambang di atas kerikil pembalut mulai dari atas lempung penyekat hingga kedalaman 0,25 m di bawah muka tanah harus diinjeksi dengan bubur semen, sehingga terbentuk semen penyekat;
  • di sekeliling sumur harus dibuat lantai beton semen dengan luas minimal 1 m2, berketebalan minimal 0,5 m mulai 0,25 m di bawah muka tanah hingga 0,25 m di atas muka tanah;
  • sumur resapan dalam dilengkapi dengan 2 buah bak kontrol yang dibuat secara bertingkat dengan menggunakan batu bata, batako, atau cor semen secara berhimpit berukur panjang 1 m, lebar 1,5 m, dan kedalaman 1,5 m, dasar bak kontrol disemen; dan
  • untuk bak penyaring, dibuat dengan kedalaman 1 m dan diisi dengan pasir dengan ketebalan 25 cm, koral setebal 25 cm dan ijuk setebal 25 cm. Bak kontrol 2, dengan kedalaman 1,5 m diisi dengan ijuk setebal 25 cm, arang aktif setebal 25 cm, koral setebal 25 cm, dan ijuk setebal 25 cm.
Pemeliharaan
  • membersihkan atau mengganti penyaring dari kotoran dan endapan/lumpur yang menyumbat pada bak penyaring, pada musim penghujan dan kemarau atau sesuai dengan keperluan; dan/atau
  • melakukan analisis laboratorium untuk mengetahui kualitas air yang masuk ke dalam sumur resapan. Parameter analisa air tanah dapat mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416 Tahun 1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air.
c. Lubang Resapan Biopori (LRB)

Cara ini diperuntukkan bagi lokasi yang mempunyai karakteristik sebagai berikut :
  • daerah sekitar pemukiman, taman, halaman parkir dan sekitar pohon;
  • dan/atau pada daerah yang dilewati aliran air hujan.
Konstruksi
  • membuat lubang silindris ke dalam tanah dengan diameter 10 cm, kedalaman 100 cm atau tidak melampaui kedalaman air tanah. Jarak pembuatan lubang resapan biopori antara 50 – 100 cm;
  • memperkuat mulut atau pangkal lubang dengan menggunakan:
1. paralon dengan diameter 10 cm, panjang minimal 10 cm; atau
2. adukan semen selebar 2 – 3 cm, setebal 2 cm disekeliling mulut lubang.
  • mengisi lubang LRB dengan sampah organik yang berasal dari dedaunan, pangkasan rumput dari halaman atau sampah dapur; dan
  • menutup lubang resapan biopori dengan kawat saringan.
Pemeliharaan
  • mengisi sampah organik kedalam lubang resapan biopori;
  • memasukkan sampah organik secara berkala pada saat terjadi penurunan volume sampah organik pada lubang resapan biopori; dan/atau
  • mengambil sampah organik yang ada dalam lubang resapan biopori setelah menjadi kompos diperkirakan 2 – 3 bulan telah terjadi proses pelapukan.

Kebutuhan Jumlah Kolam Pengumpul Air Hujan, Sumur Resapan dan Lubang Resapan Biopori

1. Jumlah Unit Kolam Pengumpul Air Hujan yang Diperlukan Berdasarkan Luas Tutupan Bangunan

2. Jumlah Unit Sumur Resapan Dangkal, Sumur Resapan Dalam dan Lubang Resapan Biopori yang diperlukan berdasarkan Luas Tutupan Bangunan

3. Nilai Kelulusan Batuan (Konduktivitas Hidrolik) (m/hari) berdasarkan Jenis Batuan

Read More..

Kesehatan dan Keselamatan Kerja Alat Angkat

Proses pembangunan bangunan sipil (gedung, jalan, jembatan, dll) adalah untuk mewujudkan perencanaan menjadi kenyataan di lapangan. Sehingga produk memenuhi syarat.
  1. Tepat waktu
  2. Tepat biaya
  3. Tepat mutu

Maksud dan Tujuan K3

  • Mencegah, mengurangi bahkan menghilangkan resiko kecelakaan kerja (zero accident).
  • Mencegah terjadinya cacat/kematian pada tenaga kerja.
  • Mencegah kerusakan tempat dan peralatan kerja.
  • Mencegah pencemaran lingkungan dan masyarakat disekitar tempat kerja.
  • Norma kesehatan kerja diharapkan menjadi instrumen yg menciptakan dan memelihara derajat kesehatan kerja.

Kecelakaan Kerja dan Cara Pencegahannya

—Kecelakaan kerja adalah kejadian yang menimpa seseorang ditempat kerja yang berdampak buruk pada pekerja, pengusaha dan lingkungan tempat kerja.

Penyebab Dasar Kecelakaan

  1. Pengoperasian yang bukan wewenangnya.
  2. Kesalahan pengoperasian
  3. Kesalahan pengamanan
  4. Pengoperasian kecepatan tinggi
  5. Alat pengaman yang tidak beroperasi
  6. Peralatan pengaman yang
  7. Menggunakan peralatan yang tidak tepat
  8. —Menggunakan peralatan yang kurang tepat
  9. Kesalahan menggunakan alat pengaman diri
  10. —Tidak tepat melakukan pekerjaan

—Alat angkat ada 2 jenis yaitu

  1. Tower Crane
  2. Passenger Hoist

Tower Crane

Tower crane adalah alat pengangkat yang biasa digunakan didalam proyek konstruksi. Cara kerja crane adalah dengan mengangkat material yang akan dipindahkan, memindahkan secara horizontal, kemudian menurunkan material ditempat yang diinginkan.
Pada prinsipnya, tower crane merupakan pesawat pengangkat dan pengangkut yang memiliki mekanisme gerakan yang cukup lengkap, yakni : kemampuan mengangkat muatan (lifting) menggeser (trolleying), menahannya tetap di atas bila diperlukan dan membawa muatan ke tempat yang ditentukan (slewing dan travelling). Operasi kerja yang identik dan muatan yang seragam yang diangkutnya, memungkinkan fasilitas transport dilakukan secara otomatis. Bukan hanya untuk memindahkan, melainkan juga untuk proses bongkar muatan.
Sementara itu, untuk kapasitas tower crane tergantung beberapa faktor. Jika material yang diangkut oleh crane melebihi kapasitasnya, maka akan terjadi jungkir. Oleh karena itu, berat material yang diangkut harus mengikuti ketentuan dan perlu memperhatikan faktor-faktor, antara lain :
  1. Kekuatan angin terhadap alat
  2. Ayunan beban pada saat dipindahkan
  3. Kecepatan pemindahan material
  4. Pengereman mesin dalam pergerakannya


Untuk jib atau boom, merupakan lengan tower crane yang terdiri dari elemen-elemen besi yang tersusun menjadi satu bagian rangka batang. Pemasangan jib harus sesuai dengan keperluan dan persyaratannya, baik dengan panjang yang standar maupun yang mencapai maksimum. Pemasangan jib ini, selanjutnya mempengaruhi terhadapa beban yang diangkat. Untuk tiap panjang jib tertentu, ada batasan beban maksimum.

Selain jib, juga terdapat counter jib yang berfungsi sebagai jib penyeimbang terhadap boom yang terpasang. Counter jib dilengkapi counter weight, yang berfungsi sebagai bebannya.
Untuk hoist adalah bagian tower crane yang berfungsi sebagai alat angkut arah vertikal. Sedangkan trolley, adalah bagian tower crane yang berfungsi sebagai alat angkut tower crane arah horisontal. Sedangkan seling merupakan bagian tower crane yang berupa kabel baja dan menjadi bagian hoist. Pemakaian seling bisa diubah-ubah diameternya atau dapat ditambahkan(double-seling), tergantung pada kebutuhan di lapangan.
Pada Tower Crane terdapat dua buah limit switch
Switch beban maksimum : untuk memonitor pada kabel dan memastikan tidak terjadinya overload
Switch momen beban :  untuk memastikan operator tidak melebihi rating ton-meter bagi crane, ketika beban bergerak pada jib. Sebuah alat yang dinamakan “cat head assembly” pada slewing unit, dapat mendeteksi secara dini bila terjadi kondisi overload.
Peralatan K3 yang diperlukan adalah Full Body Hardness yang terdiri dari :
  1. Helm Kerja
  2. Kacamata/Glass Eye
  3. Wearpack
  4. Safety Belt/Sabuk Pengaman
  5. Sepatu
Macam-macam Crane




Passenger Hoist
Passenger Hoist adalah alat yang digunakan untuk memudahkan pekerjaan dalam proyek. Fungsi alat ini sebagai alat transfer material maupun pekerja/tukang. Untuk pekerjaan di bangunan yang tinggi.

Macam-macam passenger hoist






Gambar alat-alat K3

Simbol-simbol K3 di Lapangan




Klasifikasi Menurut Jenis Kecelakaan

  • Terjatuh
  • Tertimpa benda jatuh
  • Terkena benda-benda
  • Terjepit oleh benda
  • Gerakan melebihi kemampuan
  • Pengaruh suhu tinggi
  • Terkena arus listrik
  • Kontak dengan bahan-bahan berbahaya atau radiasi

Penyebab

Hasil analisa menunjukkan bahwa penyebab utama kecelakaan kerja crane ditinjau dari segi manusia yaitu tidak adanya orang yang memberi aba-aba, sedangkan ditinjau dari segi lingkungan kerja yaitu kondisi cuaca pada daerah lokasi kerja crane, dan ditinjau dari segi peralatan yaitu kapasitas beban yang diangkut melebihi kapasitas beban crane.
Read More..

Profil Struktur Baja

Baja struktur adalah suatu jenis baja yang berdasarkan pertimbangan ekonomi, kekuatan dan sifatnya, cocok untuk pemikul beban. Baja struktur banyak dipakai untuk kolom serta balok bangunan bertingkat, sistem penyangga atap, hangar, jembatan, menara antena, penahan tanah, pondasi tiang pancang, dan lain lain.

Beberapa keuntungan dari baja sebagai bahan struktur adalah sebagai berikut :
  • Baja mempunyai kekuatan cukup tinggi serta merata, menurut Kozai Club (1983) kekuatan baja terhadap tarik ataupun tekan tidak banyak berbeda dan bervariasi dari 300 Mpa sampai 2000 Mpa. Kekuatan yang tinggi ini mengakibatkan struktur yang terbuat dari baja pada umumnya mempunyai ukuran tampang yang relatif kecil jika dibandingkan dengan struktur dari bahan lain. Oleh karena itu struktur cukup ringan sekalipun berat jenis baja tinggi. Akibat lebih lanjut adalah pemakaian pondasi yang lebih hemat.
  • Baja adalah hasil produksi pabrik dengan peralatan mesin-mesin yang cukup canggih dengan jumlah tenaga manusia relatif tidak banyak, sehingga pengawasan mudah dilaksanakan dengan saksama dan mutu dapat dipertanggung jawabkan.
  • Pada umumnya struktur baja dapat dibongkar untuk kemudian dapat dipasang lagi, sehingga elemen struktur baja dapat dipakai berulang ulang dalam berbagai bentuk struktur.
Sudah barang tentu baja sebagai bahan struktur juga mempunyai beberapa kelemahan atau kekurangan, antara lain dapat disebutkan sebagai berikut,
  • Struktur dari baja memerlukan pemeliharaan secara tetap yang membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit
  • Kekuatan baja dipengaruhi oleh temperatur. Pada  temperatur tinggi kekuatan baja sangat berkurang sehingga pada saat kebakaran bangunan dapat runtuh sekalipun tegangan yang terjadi mungkin saja masih rendah.
  • Karena kekuatan baja cukup tinggi maka banyak dijumpai batang batang struktur yang langsing, oleh karena itu bahaya tekuk (Buckling) mudah terjadi.
Agar perancangan struktur dapat optimal, sehingga hasil rancangan cukup aman dan ekonomis, maka sifat-sifat mekanika bahan struktur perlu diketahui dengan baik. Untuk memahami sifat-sifat baja struktur kiranya perlu dipelajari diagram tegangan-regangan. Diagram ini menyajikan informasi yang penting pada baja dalam berbagai tegangan. Cara perencanaan struktur baja yang memuaskan baru dapat dikembangkan setelah hubungan tegangan – regangan diketahui dengan baik. Untuk pembuatan diagram tegangan – regangan perlu diadakan pengujian bahan.
Pengujian tarik spesimen baja dapat dilakukan memakai Universal Testing Machine (UTM). Dengan mesin ini spesimen ditarik dengan gaya yang berubah ubah, dari nol diperbesar sedikit demi sedikit sampai batang putus. Pada saat spesimen ditarik, besar gaya atau tegangan dan perubahan panjang batang atau regangan dimonitor. Pada UTM yang mutakhir hasil monitor ini dapat disimpan dalam disk atau disajikan dalam bentuk diagram tegangan regangan lewat plotter.
Diagram tegangan-regangan baja struktur
Tampak bahwa hubungan tegangan – regangan pada 0A linier, sedang di atas A diagram tidak linier lagi, sehingga titik A disebut sebagai batas sebanding (Proporsional Limit). Tegangan yang terjadi pada titik A ini disebut tegangan batas sebanding σp. Sedikit di atas A terjadi titik batas elastis bahan. Hal ini berarti bahwa batang yang dibebani sedemikian sehingga tegangan yang timbul tidak melampaui σe, Panjangnya akan kembali ke panjang semula jika beban dihilangkan. Pada umumnya tegangan σp dan σe relatif cukup dekat sehingga seringkali kedua tegangan tersebut dianggap sama yaitu sebesar σe.
Regangan ε yang timbul saat spesimen putus, pada umumnya berkisar sekitar 150 – 200 kali regangan elastis εe. Di atas tegangan elastis σe, pada titik B baja mulai leleh tegangan di titik B baja disebut sebagai tegangan leleh σl. Pada saat leleh ini baja masih mempunyai kekuatan. Hal ini berati bahwa pada saat leleh, baja masih mampu menghasilkan gaya perlawanan. Bentuk kurva pada bagian leleh ini, mula-mula mendekati datar, berarti tidak ada tambahan tegangan sekalipun regangan tambahan. Hal ini berakhir pada saat terjadi pergeseran regangan (Strain Hardening) di titik C kurva naik ke atas lagi sampai dicapai kuat tarik (Tensile Strength) di titik D. Setelah itu, kurva turun dan spesimen retak (Fracture) di titik E. Diagram tegangan – regangan ini dibuat berdasarkan data yang diperoleh dari pengujian bahan, dengan anggapan luas tampang spesimen tidak mengalami perubahan selama pembebanan. Menurut hukum Hooke suatu batang yang dibebani tarikan secara uniaksial, luas tampangnya akan mengecil. Sebelum titik C perubahan luas tampang itu cukup kecil, maka pengaruhnya dapat diabaikan tetapi setelah sampai pada fase pengerasan regangan, tetapi hukum Hooke tidak berlaku lagi, tampang mengalami penyempitan yang cukup besar. Kalau penyempitan itu diperhitungkan dalam penggambaran diagram, akan diperoleh kurva dengan garis putus putus. Besar regangan pada titik titik A, B, C, D, E, dipengaruhi oleh jenis baja yang diuji.
Diagram tegangan – regangan tipikal berbagai baja struktur
Berdasarkan besar tegangan leleh ASTM membagi baja dalam empat kelompok, dengan kisaran tegangan sebagai berikut :
  1. Carbon steels, tegangan leleh 210 – 280 Mpa.
  2. High Strength low –  alloy steels, tegangan leleh 280 – 490 Mpa.
  3. Heat treated carbon and high – strength low alloy steels, tegangan leleh 322 – 700 Mpa.
  4. Heat – treated constructional alloy steels, tegangan leleh 630 – 700 Mpa

Pemilihan Profil

Untuk konstruksi baja terdapat BJ. 00 dan BJ. 37 dalam bentuk batang-batang atau pelat-pelat. Bengkel konstruksi membeli bahan ini dari perdagangan baja, yang biasanya mempunyai sedikit banyak persediaan dari profil-profil dan pelat-pelat yang banyak terdapat di gudangnya. Kalau dari suatu jenis dibutuhkan jumlah banyak dan waktu penyerahan memberi kemungkinan ke arah itu, maka dengan perantaraan perdagangan baja tadi, penyerahan itu dilakukan langsung dari satu atau lebih pabrik canaian. Untuk konstruksi-konstruksi kecil dianjurkan untuk menggunakan daftar-daftar persediaan dari para pedagang, yang dalam waktu tertentu dikirimkan kepada bengkel-bengkel dan mereka yang berkepentingan, sedangkan konstruktor lebih baik membatasi diri dalam memilih profil, sampai pada jenis-jenis yang banyak terdapat. Pabrik-pabrik besar biasanya mempunyai banyak persediaan sendiri, yang dalam waktu-waktu tertentu ditambah, supaya dapat menutupi pekerjaan-pekerjaan kecil dan pesanan-pesanan cepat. Juga untuk perusahaan-perusahaan kecil dianjurkan, untuk memelihara daftar-daftar persediaannya sendiri dengan baik, supaya jangan sampai mengalami kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.
Read More..

Truss Bridges

What is truss bridge?
  • Truss bridge is a bridge composed of connected elements (typically straight)   which may be stressed from tension, compression, or sometimes both in response to dynamic loads.
  • Truss bridges are one of the oldest types of modern bridges.
  • Truss bridge is economical to construct owing to its efficient use of materials

COMPONENT PARTS OF A typical TRUSS BRIDGE – elevation view
COMPONENT PARTS OF A typical TRUSS BRIDGE – isometric view
Ilustration mass loading of truss bridge
TYPES OF TRUSS BRIDGE

SOME TYPES TRUSS IN THE BRIDGES

1. Allan truss
The Allan Truss, designed by Percy Allan is partly based on the Howe truss. The Hampden Bridge in WaggaWagga, New South Wales, Australia, which was the first of the Allan truss bridges, was originally designed as a steel bridge.
It was constructed with timber to reduce cost. In his design, Allan used Australian ironbark for its strength. A similar bridge also designed by Percy Allen is the Victoria Bridge on Prince Street Picton, New South Wales. Also constructed of ironbark, the bridge is still in use today for pedestrian and light traffic.

2. Bailey bridge
Bailey bridge over the Meurthe River, France. Designed for military use the prefabricated and standardized truss elements may be easily combined in various configurations to adapt to the needs at the site. In the image at right note the use of doubled prefabrications to adapt to the span and load requirements. In other applications the trusses may be stacked vertically.

3. Lattice truss(Town’s lattice truss)
Plank lattice truss of a covered bridge. This type of bridge uses a substantial number of lightweight elements, easing the task of construction. Truss elements are usually of wood, iron, or steel.

4. Fink truss
Fink Truss (half span and cross section). The Fink truss was designed by Albert Fink of Germany in the 1860s. This type of bridge was popular with the Baltimore and Ohio Railroad. The Appomattox High Bridge on the Norfolk and Western Railroad included 21 Fink deck truss spans from 1869 until their replacement in 1886.
5. Pratt truss
A Pratt truss includes vertical members and diagonals that slope down towards the center, the opposite of the Howe truss. It can be subdivided, creating Y- and K-shaped patterns. The Pratt Truss was invented in 1844 by Thomas and Caleb Pratt. This truss is practical for use with spans up to 250 feet and was a common configuration for railroad bridges as truss bridges moved from wood to metal

6. Waddell truss
Waddell “A” truss (1898bridge). It’s designed by John Alexander Low Waddell its simplicity eases erection at the site. It was intended to be used as a railroad bridge.

7. Warren (non-polar) truss
Warren truss illustrated – some of the diagonals are under compression and some under tension. The Warren truss was patented in 1848 by its designers”James Warren” and Willoughby Theobald Monzani, and consists of longitudinal members joined only by angled cross-members, forming alternately inverted equilateral triangle-shaped spaces along its length, ensuring that no individual strut, beam, or tie is subject to bending or torsional straining forces, but only to tension or compression. Loads on the diagonals alternate between compression and tension (approaching the center), with no vertical elements, while elements near the center must support both tension and compression in response to live loads. This configuration combines strength with economy of materials and can therefore be relatively light. It is an improvement over the Neville truss which uses a spacing configuration of isosceles triangles.

LONGEST TRUSS BRIDGE IN THE WORLD

ROADBED TYPES

1. Deck truss railroad bridge over the Erie Canal in Lockport, New York

2. The four span through truss General Hertzog Bridge over the Orange River at Aliwal North carries vehicular traffic.

3. Pony truss bridge of reinforced concrete

4. Sky Gate Bridge R at Kansai International Airport, Osaka, Japan, is the longest double-decked truss bridge in the world. It carries three lanes of automobile traffic on top and two of rail below over nine truss spans.

Some  FAMOUS BRIDGES IN THE WORLD

1. Bayonne Bridge
Bayonne, New Jersey. Note the arch is made up of truss members instead of box girders. This was overtaken by the New River Gorge Bridge as the World’s longest steel arch bridge.

2. Wuhan Bridge
This great bridge – it’s more than 1100m long and 80m high. The completion of the bridge in 1957 marked one of Communist China’s first great engineering achievements, because until then all road and rail traffic had to be laboriously ferried across the river.

3. Nanpu Bridge
Just North of the new Lupu Bridge is the Nanpu Bridge. The new bridge will help to reduce congestion on this bridge. The proposed next World Fair will occupy a large site between this bridge and the new Lupu Bridge, on both side of the Huangpu River.

Read More..